Minggu, 17 Juni 2012

Seuntai Do'a Dalam Sepi..

Tuhanku...
Aku berdo'a untuk seorang pria yang menjadi bagian dari hidupku
Seseorang yang sungguh mencintaiMu lebih dari segala sesuatu
Seorang pria yang akan meletakkanku pada posisi kedua di hatinya setelah Engkau
Seorang pria yang hidup bukan untuk dirinya sendiri tetapi untukMu

Wajah tampan dan daya tarik fisik tidaklah penting
Yang penting adalah sebuah hati yang sungguh mencintai dan dekat dengan Engkau
dan berusaha menjadikan sifat-sifatMu ada pada dirinya
Dan ia haruslah mengetahui bagi siapa dan untuk apa ia hidup sehingga hidupnya tidaklah sia-sia

Seseorang yang memiliki hati yang bijak tidak hanya otak yang cerdas
Seorang pria yang tidak hanya mencintaiku tapi juga menghormatiku
Seorang pria yang tidak hanya memujaku tetapi juga dapat menasihatiku ketika aku berbuat salah

Seseorang yang mencintaiku bukan karena kecantikanku tapi karena hatiku
Seorang pria yang dapat menjadi sahabat terbaikku dalam setiap waktu dan situasi
Seseorang yang dapat membuatku merasa sebagai seorang wanita ketika aku di sisinya

Tuhanku...
Aku tidak meminta seseorang yang sempurna namun aku meminta seseorang yang tidak sempurna,
sehingga aku dapat membuatnya sempurna di mataMu
Seorang pria yang membutuhkan dukunganku sebagai peneguhnya
Seorang pria yang membutuhkan doaku untuk kehidupannya
Seseorang yang membutuhkan senyumku untuk mengatasi kesedihannya
Seseorang yang membutuhkan diriku untuk membuat hidupnya menjadi sempurna

Tuhanku...
Aku juga meminta,
Buatlah aku menjadi wanita yang dapat membuatnya bangga
Berikan aku hati yang sungguh mencintaiMu sehingga aku dapat mencintainya dengan sekedar cintaku

Berikanlah sifat yang lembut sehingga kecantikanku datang dariMu
Berikanlah aku tangan sehingga aku selalu mampu berdoa untuknya
Berikanlah aku penglihatan sehingga aku dapat melihat banyak hal baik dan bukan hal buruk dalam dirinya
Berikanlah aku lisan yang penuh dengan kata-kata bijaksana,
mampu memberikan semangat serta mendukungnya setiap saat dan tersenyum untuk dirinya setiap pagi

Dan bilamana akhirnya kami akan bertemu, aku berharap kami berdua dapat mengatakan:
"Betapa Maha Besarnya Engkau karena telah memberikan kepadaku pasangan yang dapat membuat hidupku menjadi sempurna."

Aku mengetahui bahwa Engkau ingin kami bertemu pada waktu yang tepat
Dan Engkau akan membuat segala sesuatunya indah pada waktu yang telah Engkau tentukan


Amin

Rabu, 14 September 2011

Hak dan Kewajiban Suami Istri

Sebagai bahan referensi dan renungan bahkan tindakan, berikut, garis besar hak dan kewajiban suami isteri dalam Islam yang di nukil dari buku “Petunjuk Sunnah dan Adab Sehari-hari Lengkap” karangan H.A. Abdurrahman Ahmad.

Hak Bersama Suami Istri
  • Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21)
  • Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-Nisa’: 19 –  Al-Hujuraat: 10)
  • Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
  • Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)
Adab Suami Kepada Istri .
  • Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-aubah: 24)
  • Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (At-Taghabun: 14)
  • Hendaknya senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74)
  • Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari satu. (AI-Ghazali)
  • Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34) … ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada Allah.
  • Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
  • Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
  • Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
  • Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar bin Khattab ra., Hasan Bashri)
  • Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Ya’la)
  • Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa kasar dan zhalim. (An-Nisa’: 19)
  • Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah sendiri. (Abu Dawud).
  • Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
  • Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
  • Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
  • Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasa’i)
  • Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
  • Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada istrinya. (AI-Baqarah: ?40)
Adab Isteri Kepada Suami
  • Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
  • Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)
  • Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
  • Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:
  1. Menyerahkan dirinya,
  2. Mentaati suami,
  3. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya,
  4. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
  5. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
  • Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam kesibukan. (Nasa’ i, Muttafaqun Alaih)
  • Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya. (Muslim)
  • Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosa-dosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)
  • Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)
  • Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi  saw.: “Seandainya dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada suaminya. .. (Timidzi)
  • Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
  • Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami(Thabrani)
  • Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat suami tidak di rumah). (An-Nisa’: 34)
  • Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3) Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
  • Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
  • Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. (An-Nur: 30-31)
Isteri Sholehah
  • Apabila’ seorang istri, menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramddhan, memelihara kemaluannya, dan mentaati suaminya, niscaya Allah swt. akan memasukkannya ke dalam surga. (Ibnu Hibban)
  • Istri sholehah itu lebih sering berada di dalam rumahnya, dan sangat jarang ke luar rumah. (Al-Ahzab : 33)
  • Istri sebaiknya melaksanakan shalat lima waktu di dalam rumahnya. Sehingga terjaga dari fitnah. Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid, dan shalatnya wanita di kamarnya lebih utama daripada shalat di dalam rumahnya. (lbnu Hibban)
  • Hendaknya menjadikan istri-istri Rasulullah saw. sebagai tauladan utama.

Ketaatan Istri pada Suami

Bagi ulama dan orang orang yang sudah belajar syariat tentang hubungan suami istri dalam islam, topik istri taat suami ini bukan topik yang baru, "memang sudah seharusnya seperti itu" mungkin itu salah satu komentar jika ada yang membahas isu ketaatan seorang istri pada suami... sayangnya banyak orang yang belum sadar bahwa dibalik syariat yang telah ditentukan Allah terdapat banyak ilmu dan hikmah yang membahagiakan dan menceriakan kehidupan di dunia dan membawa keselamatan hidup di akhirat kelak, Insya Allah. Ilmu-ilmu seperti ini tidak sembarang orang mendapatkannya, bahkan tidak seluruh ulama mendapatkannya karena ilmu ini hanya direzekikan dari Allah untuk orang orang yang bersungguh-sungguh meniti jalanNya. Contohnya ilmu tentang shalat. Kewajiban tentang shalat dan tata cara shalat memang wajib diketahui oleh seluruh ummat Islam, tapi hanya beberapa orang saja yang memanfaatkan ilmu tentang shalat ini untuk menjadi lebih dekat pada Allah, rindu dengan Allah, dan dengan rahmat dan kasih sayang Allah orang tersebut diproses sehingga shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.
Ada beberapa poin penting yang perlu diketahui oleh para muslimah tentang isu ketaatan pada suami ini antara lain:

1. Kedudukan wanita dalam Islam

Sejak proses penciptaan manusia sampai pelaksanaan syariat dalam kehidupan manusia, Allah telah memberikan banyak petunjuk bahwa wanita dan pria tidak sama:
  • Nabi Adam diciptakan lebih dahulu dibandingkan Siti Hawa.
  • Nabi Adam diciptakan dari tanah, Siti Hawa diciptakan dari sebuah tulang rusuk Nabi Adam.
  • Siti Hawa diciptakan Allah untuk menghibur Nabi Adam, bukan sebagai pahlawan, penolong atau seseorang yang lebih kuat ataupun sama dengan Nabi Adam.
  • Wanita tidak ada yang menjadi Nabi dan Rasul, tapi memiliki kesempatan untuk menjadi seorang wali
Di dalam kehidupan sehari hari banyak sekali syariat Islam yang berbeda antara laki laki dan perempuan contohnya:
  • Bayi laki-laki lahir di adzankan, bayi perempuan diiqamatkan,
  • aqiqah yang hukumnya sunnat, untuk bayi laki laki 2 ekor kambing, perempuan 1 kambing saja,
  • Laki-laki dan wanita batas auratnya berbeda,
  • wanita membutuhkan wali dalam pernikahannya, laki-laki tidak
  • Wanita, secara lahiriah ibadahnya terbatas, karena ada masa haid, nifas, dll, namun terlepas dari kemampuan wanita yang terbatas itu Allah tidak membatasi peluang seorang wanita untuk mendapatkan syurga.
  • Wanita sangat dilindungi dan dibela hak haknya dalam Islam, contohnya dalam keadaan perang wanita dan anak anak tidak boleh dibunuh, contoh lain jika dalam keluarga ada anak laki-laki dan perempuan, berikan hadiah terlebih dahulu pada anak perempuan, dll.

2. Hubungan Laki-laki dan Perempuan

Pergaulan dan adab antara sesama laki-laki, sesama perempuan, maupun laki-laki dan perempuan telah diatur dalam Islam. Laki laki dan perempuan boleh berhubungan dalam bentuk kerjasama, perdagangan, dll dengan aturan dan batasan tertentu, tapi ada satu urusan yang bersifat terbatas yang hanya dapat dilakukan dalam ikatan tertentu yaitu ikatan pernikahan.

3. Pernikahan

Mungkin banyak wanita yang merasa kebutuhannya sudah cukup terpenuhi, nyaman bertukar fikiran dengan laki-laki, mendapat support dan bimbingan dari laki-laki yang statusnya kawan, abang, orang tua, dll....tapi ada satu kebutuhan laki laki dan perempuan yang juga Allah penuhi hanya dengan status suami dan istri dengan satu ikatan yaitu ikatan pernikahan. Terdapat banyak syariat dalam pernikahan yang cukup berat dan memerlukan kesungguhan dari kedua belah pihak baik laki laki dan perempuan untuk mentaatinya, tapi dibalik itu semua Allah bagi banyak hikmah dan hadiah bagi orang yang bersungguh sungguh. Diantara hadiah yang Allah berikan adalah: anak-anak yang soleh solehah, yang berbakti bagi orang tua dan bermanfaat pada ummat, peluang wanita untuk memperoleh syurga jika telah bersungguh sungguh menjalankan syariat dalam pernikahan, dll.
Kebutuhan yang dipenuhi oleh Allah lewat ikatan pernikahan ini adalah hubungan seks dan segala hal yang mendekati dan berhubungan dengan hal tersebut. Jika hubungan ini dilakukan bukan dalam ikatan pernikahan, Allah melaknatnya tapi Allah memberkati dan merahmati segala hubungan seks yang dilakukan dalam pernikahan, bahkan memberikan banyak ilmu hikmah dan hadiah lewat hubungan yang dihalalkan tersebut, seperti mendapatkan anak, mendapatkan ketenangan di dunia, mendapatkan peluang untuk lebih khusyuk beribadah, mendapatkan peluang untuk lebih dekat dengan Allah, dll.

4. Suri tauladan wanita solehah

Sudah banyak contoh dari wanita solehah di zaman Nabi dan Rasul seperti Siti Fatimah, Siti Khadijah, Siti Hajar, Siti Asiyah. Ada contoh pernikahan antara wanita solehah dan pria soleh, ada juga pernikahan antara wanita solehah dan pria yang tidak soleh ada juga wanita solehah dan pria yang belum soleh tapi kelak Allah jadikan pria soleh karena doa dari istrinya yang solehah, dll. Seluruh cerita itu menunjukkan hubungan pernikahan tidak ada yang mulus dan adem ayem saja, dalam pernikahan pasti banyak ujian, bahkan bagi pria dan wanita yang sudah bersungguh sungguh dengan Allah. Tapi dibalik ujian tersebut banyak ilmu hikmah dan hadiah yang Allah berikan bukan pada orang yang menjalaninya saja, tapi juga kepada lingkungan dan masyarakat. Allah sangat menyayangi orang yang bersungguh sungguh di jalanNya.

Kamis, 16 Juni 2011

Batas Aurat Wanita Dalam Islam

UU Pornografi hingga kini masih juga dipermasalahkan oleh sebagian kalangan yang mengaku sebagai pembela hak-hak wanita, pekerja seni atau orang-orang lainnya yang mengaku humanis. Mereka beranggapan isi dari undang-undang tersebut dapat menggangu hak-hak perempuan, kebebasan berekspresi dan mengungkapkan karya seni serta dapat mengganggu tradisi dan budaya masyarakat tertentu di Indonesia. Untuk itu kemudian mereka terus menolak dan meminta agar isi UU tersebut harus disandarkan pada tradisi dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.

Umat Islam adalah yang paling ramai mendukung UU tersebut karena UU tersebut dianggap telah cukup memenuhi tuntutan ajaran Islam, tetapi kemudian umat Islam diminta untuk mempertimbanglkan nilai budaya yang plural di Indonesia sebagai landasan dari UU tersebut, bahkan Fawaizul Umam dalam tulisannya “Mengarifi Batas Aurat Perempuan” (dalam Kompas) mengusulkan kepada umat Islam agar mengambil nilai sosial budaya sebagai standar dalam mendefinisikan pornografi/pornoaksi.

Bagi umat Islam untuk menentukan yang manakah yang porno dan manakah yang tidak porno sesungguhnya standarnya sudah jelas, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi, standar itu kemudian dikacaukan dengan standar-standar yang lain yang dikemukakan bahkan oleh orang Islam sendiri—dengan segala argumentasinya. Untuk pembahasan mengenai standar pornografi lihat tulisan saya sebelumnya Menyoal standar dalam menilai Pornografi.

Pornografi dan pornoaksi dalam Islam berhubungan dengan konsep aurat, yakni bagian tubuh manusia yang harus ditutup serta dijaga karena perintah Allah SWT. Aurat dianggap sebagai aib, oleh karena itu orang yang mempertontonkan auratnya berdosa kepada Allah. Hanya saja, bagian tubuh manakah yang menjadi bagian aurat, yang kalau dipertontonkan itu menyebabkan dosa, inilah yang dipersoalkan oleh Fawaizul Umam (dalam tulisan yang disebutkan di atas). Ia mengungkapkan sejumlah fakta yang menunjukkan adanya ketidaksepahaman ulama fikih dalam menentukan bagian manakah yang menjadi aurat perempuan. Dari sini ia berpendapat bahwa hal tersebut karena ulama fikih dipengaruhi oleh situasi ruang dan waktu dalam melakukan istinbat hukum (pengambilan hukum), sehingga pandangannya menjadi relatif terhadap situasi ruang dan waktu. Maka, penulis tersebut kemudian menyimpulkan bahwa masalah aurat tersebut hanyalah masalah sosial budaya atau hanya menyangkut etika atau bahkan estetika, sehingga dengan demikian ajaran Islam tidak diperlukan lagi sebagai standar baik dan buruk. Sebagai gantinya penulis tersebut mengusulkan nilai sosial budaya sebagai landasan dalam memandang masalah pornografi/pornoaksi.

Ia menulis, “Dengan begitu, tidak ada batasan aurat yang sama untuk perempuan. Itu membuktikan betapa teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat. Para ulama menafsir dengan rangka paradigmatik masing-masing yang berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka”. Ada tiga hal yang perlu dijernihkan di sini menyangkut “tidak ada batasan aurat yang sama” dan “teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat”, serta “berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka”.

Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama ahli fikih mengenai batasan aurat, namun mengatakan tidak ada batasan aurat yang sama adalah kurang tepat. Ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali menyatakan bahwa aurat perempuan yang berhadapan dengan orang yang bukan mahram (orang yang haram dikawini) adalah seluruh tubuhnya, tidak terkecuali muka dan telapak tangan, bahkan Imam Ahmad ibnu Hanbal menyatakan termasuk juga kukunya. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, menyatakan aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Dari sini bisa dikatakan dari keempat madzhab tidaklah terjadi perbedaan pendapat, kecuali menyangkut muka dan telapak tangan saja (lihat Tafsir Ayat Ahkam as-Shabun (terj.) Jil. 2: 243). Jadi tidak ada perbedaan yang begitu besar. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa wajah, kedua telapak tangan dan kaki tidak termasuk aurat adalah pandangan dari Sufyan as-Sauri, al-Muzanni, sebagian ulama Hanafiah serta Syiah Imamiah (lihat Ensiklopedi Hukum Islam: 145) adalah pendapat yang tidak populer di kalangan ahli fikih.

Kemudian pernyataan penulis: “teks terkait tidak secara jelas membatasi aurat”, adalah pernyataan yang tidak tepat. Apa yang disebutkan dalam Surah an-Nur: 31 sudah sangat jelas menyebutkan bagian mana yang menjadi aurat perempuan, ditambah hadits-hadits Nabi yang banyak yang menyebutkan bagian aurat, serta pendapat ulama madzhab dalam kitab-kitab mereka, maka, sudah cukup untuk tidak menyatakan bahwa tidak ada teks terkait yang membatasi aurat. Salah satu di antara hadits tersebut yang dengan jelas menyebut bagian aurat perempuan adalah, “Bahwa sesungguhnya Asma’ binti Abu Bakar masuk ke (rumah) Rasulullah saw. sedang ia memakai pakaian yang tipis kemudian Nabi saw. berpaling darinya seraya bersabda: ‘Hai Asma’ sesungguhnya perempuan itu apabila telah baligh tidak boleh terlihat darinya melainkan ini dan ini’. Nabi saw, sambil menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud).

Kemudian benarkah perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih menyangkut aurat disebabkan oleh adanya paradigma masing-masing yang berkait erat dengan situasi ruang dan waktu mereka. Sayangnya dugaan penulis tersebut tidak didukung oleh fakta bahwa para imam ahli fikih tersebut memang memiliki metode pengambilan hukum (istinbat hukum) berdasarkan situasi ruang dan waktu. Jadi, para imam ahli fikih tersebut berbeda pendapat bukanlah karena situasi ruang dan waktu, akan tetapi karena dalil yang dipegang/diambil oleh masing-masing imam berbeda.

Ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali dalam menetapkan aurat perempuan berpegang pada berbagai hadits, di antaranya: “Aku pernah bertanya pada Nabi tentang pandangan tiba-tiba, lalu ia manjawab: ‘Palingkanlah pandanganmu (berikutnya)’.” (HR. Ahmad dan Muslim). Juga, sabda Nabi kepada Ali: “Hai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan (pertama yang tiba-tiba itu) dengan pandangan (berikutnya), karena yang pertama itu boleh sedang yang berikutnya itu tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dari dalil inilah kenapa wajah perempuan termasuk aurat menurut pendapat ini.

Sedangkan ulama madzhab Maliki dan Hanafi yang menyatakan bahwa muka dan telapak tengan bukanlah aurat berdasarkan beberapa dalil, salah satunya adalah hadits yang pernah di sebut di atas mengenai Asma’ binti Abu Bakar.

Dengan fakta-fakta yang dikemukakan di atas, maka pernyataan penulis: “Refleksi para ahli fikih, misalnya, hanya menegaskan kewajiban menutup aurat; tidak merinci bagian tubuh mana yang mesti ditutup …”, tidak dapat dipertahankan lagi. Dan oleh karena itu dugaan penulis bahwa aurat perempuan itu relatif mengikuti ruang dan waktu adalah tidak tepat. Di mana pun muslimah berada dan kapan pun waktunya, ia tetap terikat aturan mengenai aurat yang telah jelas batasnya, apakah batas aurat mengikuti pendapat madzhab Syafi’i dan Hanbali ataukah pendapat madzhab Maliki dan Hanafi. Aurat perempuan bukanlah soal etika apalagi estetika akan tetapi benar-benar merupakan ajaran agama Islam yang harus dilaksanakan oleh para pemeluknya dan dipahami sesuai nilai Islam, tidak dengan nilai sosial budaya, ataupun yang lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab.